صَــــــلَاةُ
زَيْنِ عَـــــلَـــى الْوُجُــوْدِ
مُـحَمَّدٍ
وَأَلٍ وَأَصَحْبٍ والسَّــــــلَامُ الْمُـــــكَـمَّلُ
وَأَلٍ وَأَصَحْبٍ والسَّــــــلَامُ الْمُـــــكَـمَّلُ
أَلَا يَا رَسُــــــوْلَ اللهِ صِــــــلْنِيْ بِزَوْرَةٍ
فَإنِّي مُــــــصَلٍّ عَاشِـــــقٌ مُتَــــوَسِّلُ
Saya
awali tulisan ini dengan kutipan sebuah hadist Nabi yang berbunyi:
''Sesungguhnya
kelak akan ditimbang tinta para ulama yang mereka gunakan untuk
menulis kitab, maka didapatkan tinta itu ternyata lebih berat dari
darah para syuhada (orang yang mati karena berperang di jalan
Allah)'' <Fawaid Mukhtaroh: 33>.
Dari
seorang yang fakir ilmu, Mohammad Yusron Hasani, izinkan saya menulis
beberapa hal berkenaan dengan Fiqh al Siyar : hukum humaniter Islam,
untuk di baca dan dikumpulkan. Kemudian kami mengharap teguran dan
koreksi atas setiap kesalahan agar pembahasan tersebut menjadi ilmu
yang manfaat bagi agama, dunia dan akhirat.
Hendaknya
setiap Muslim berusaha memerangi kezaliman dan berusaha menjaga agar
setiap kezaliman mendapat balasan yang setimpal. Hal tersebut berlaku
dalam setiap keadaan, termasuk dalam keadaan perang. Allah berfirman
dalam wahyu yang telah diturunkan: ''Aku
zalim jika tidak membalas orang-orang yang berbuat zalim''.
Dalam
wahyu yang lain, Allah berfirman: ''Andaikan
kezaliman itu berupa sebuah batu yang ditaruh di surga, maka akan Aku
hancurkan surga itu sebab batu tersebut''.
<al
Manhaj as-Sawiy: 569>.
keterangan senada di <Tatsbitul-Fuad:
2/76>.
Dasar dari kaidah ini ialah Firman Allah : وَلا
تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ (dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi) <al-Qoshosh:
77>.
Juga hadits Nabi diantaranya : لاضَرَرَ
وَلاضِرَارَ (Laa
dhororo wa laa dhiroro)
''Tidak boleh membuat kemadhorotan pada diri sendiri dan membuat
kemadhorotan pada orang lain'' <HR
Ahmad, Ibnu Majah>.
Namun, Kaidah
diatas mempunyai kekecualian dan batasan. Mengenai perang yang wajib
dilakukan oleh masyarakat sipil yang tidak terlibat kepentingan
secara langsung seperti anak-anak dan wanita dan orang-orang rumah
yang tidak bersenjata. Hal
tersebut akan memunculkan Hukum humaniter Islam berkaitan dengan
kaidah Fiqh : اَلضَّرَرُ
يُزَالُ
(Adh-Dhororu
Yuzalu)
-Kemadhorotan harus dihilangkan- yang bisa masuk dalam pembahasan
Fiqh
al-Siyar
(Fiqh
berkenaan dengan perikemanusiaan).
Arti dari kaidah Adh-Dhororu
yuzalu (kemadhorotan
harus dihilangkan) yang cukup terkenal dalam kaidah-kaidah dasar Fiqh
secara
khusus memang menunjukkan bahwa kemadhorotan itu telah terjadi dan
akan terjadi. Apabila demikian halnya wajib untuk dihilangkan. Jika
kezaliman yang menjadi penyebab ''Adh-Dhororu''
adalah
sebuah peperangan maupun kediktatoran sebuah rezim, maka perang untuk
menghilangkan kezaliman itu juga bersifat wajib. Sedangkan batasan
dari kaidah diatas pada prinsipnya adalah :
- Pertama: apabila menghilangkan kemudharatan mengakibatkan datangnya kemudharatan yang lain yang sama tingkatannya maka tidak boleh melakukan tindakan tersebut, misalnya : seorang relawan melakukan perlawanan secara terbuka terhadap invasi tank-tank musuh yang sedang beroperasi sedangkan yang dilakukannya akan memancing datangnya tank-tank tersebut menuju camp medis. Hal ini tidak boleh dilakukan meskipun si relawan juga dalam keadaan perlu menyelamatkan nyawa orang-orang yang diserang. Dalam hukum Islam, hal tersebut tidak boleh dilakukan karena tingkat kemudharatannya sama, yaitu sama-sama untuk menyelamatkan diri (nyawa) atau yang dikenal dengan hifdz al-nafs dalam kajian maqashid al-syari’ah. Demikian juga tidak boleh dokter mengobati pasien yang memerlukan tambahan darah dengan mengambil darah pasien lain, yang apabila diambil darahnya akan lebih parah sakitnya. Maka jika dalam kondisi perang perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat sipil hanya akan menyebabkan hilangnya nyawa lebih banyak, akan muncul pembatasan dari kaidah : اَلضَّرَرُيُزَالُ (Adh-Dhororu Yuzalu) -Kemadhorotan harus dihilangkan- yang terangkum dalam kaidah fiqh: اَلضَّرَرُلا يُزَالُ باالضرر (Adh-Dhororu La Yuzalu bi Adh-Dhorori) ''Kemadhorotan itu tidak boleh dihilangkan dengan kemadhorotan yang sama tingkatannya''.
- Kedua: apabila usaha untuk menghilangkan kemudharatan yang akan dilakukan akan mengakibatkan hilangnya kemudharatan yang lebih besar atau menjadi penyebab datangnya kemaslahatan maka boleh melakukan tindakan tersebut. Contoh dalam hal ini adalah halnya apabila camp medis dalam keadaan diserang dan hampir mematikan seluruh pasien. Mengambil segala hal yang bisa digunakan untuk menyerang kembali atau melakukan perlawanan meskipun dalam keadaan tanpa disertai persenjataan apapun (dalam keadaan lemah dan tidak wajib berperang) akan bersifat wajib demi untuk menyelamatkan diri dan seluruh penghuni camp medis. Hal ini dibolehkan karena kemudharatan membiarkan diri mati dilarang dalam agama (hifdz al-nafs). Hal yang sama juga bisa ditemukan pada contoh kasus ''Resolusi Jihad Fii Sabilillah'' yang pernah digaungkan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ary (22 Oktober 1945). Resolusi tersebut adalah sebuah fatwa untuk mewajibkan melakukan peperangan mempertahankan tanah air Indonesia bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan, anak-anak, bersenjata ataupun tidak yang bersifat fardhlu ain (sangat wajib) bagi yang berada di jarak 94 KM dari kedudukan musuh. Pertimbangan tersebut tetap diambil dengan tanpa mengindahkan ultimatum yang disebarkan NICA (02 November 1945) melalui selebaran-selebaran di udara dari pesawat mereka yang terbang merendah dilangit Surabaya. Selebaran tersebut berisi perintah bahwasannya mereka (penjajah) meminta agar rakyat Surabaya menyerah dengan menaruh senjata di pos-pos yang telah ditentukan, pada tanggal yang telah ditentukan. Jika tidak maka NICA di Australia dan Belanda, serta tentara sekutu Inggris akan membombardir Surabaya dari darat, laut dan udara. Toh, hal itu tidak menyebabkan beliau, Hadrotussyaikh KH Hasyim Asy'ary mencabut resolusi tersebut. Pertimbangan ini tetap diambil karena melihat setiap makar yang dilakukan pihak musuh dipastikan akan tetap dilakukan dengan tidak mengindahkan peraturan peperangan dan perikemanusiaan, baik pada saat terjadi peperangan maupun pada saat gencatan senjata. Seruan jihad ini secara syar'i disepakati para Ulama' dan dilaksanakan oleh seluruh rakyat dari seluruh lapisan dengan maksud utama membela negara. Meskipun 3 hari berselang resolusi jihad tersebut dicetuskan, sekitar 6000 tentara sekutu mendarat di pelabuhan tanjung perak Surabaya dengan persenjataan lengkap. Karena resolusi tersebut menjadi legitimasi jihad dari ulama yang menambah keyakinan bagi setiap pejuang, maka santri-santri dan seluruh lapisan masyarakat tidak ada yang mundur apalagi ragu-ragu. Sehingga mati pun jika dalam keadaan membela kedaulatan Negara Indonesia akan beroleh balasan surga dan semangat yang muncul tersebut adalah semangat syahid serta berani mati. Apakah hal tersebut keluar dari konteks hifdz an-nafs?.
- Batasan dari kaidah diatas adalah hukum yang bisa digali dari terlarangnya melarikan diri dari peperangan karena semata-mata untuk menyelamatkan diri (hifdz an-nafs). Alasannya karena kalah dalam peperangan lebih besar mudharatnya daripada menyelamatkan diri bagi seseorang. Karena kekalahan dalam peperangan menyebabkan terbunuh atau tertawannya anggota yang lain dan dikuasainya sebuah kota serta sumber daya hajat hidup orang banyak. Selain itu dalam peperangan, hukum yang berlaku sesuai dengan al-qur’an, QS. at-Taubat: 111 adalah Fayaqtuluna wa yaqtuluna (membunuh atau dibunuh) serta apabila meninggal bagi mukmin dihukumi mati syahid. Apabila dipertimbangkan, apakah dia akan mendapatkan faidah tersebut (menjauhi kekalahan perang, menghindarkan dikuasainya kota, meninggal dengan syahid, dll) jika keluar dari peperangan?. Tentu saja tidak. Karena mudhorot yang dihasilkan lebih besar, maka Islam tidak memperbolehkan lari dalam peperangan. Demikian juga mengenai hukum terlarangnya melakukan bom bunuh diri untuk melakukan sebuah serangan. Dalam peperangan memang seseorang akan berhadap-hadapan dengan musuh baik secara cepat maupun lambat dan mereka akan berada cukup dekat dengan kewajiban hifdz an-nafs. Selama hifdz an-nafs masih bisa dijalankan, maka menjauhi dari membiarkan diri mati oleh diri sendiri adalah wajib. Bedanya, kalau bunuh diri itu yang membunuh dirinya adalah dirinya sendiri, sedangkan dalam perang yang membunuh dirinya adalah musuh. Kecuali pada kasus yang menyebabkan hilangnya pilihan untuk hifdz an-nafs. Misalnya dalam kasus yang lain, seorang pendaki yang terjebak hampir jatuh ke dalam jurang bersama kawan-kawannya sedang dalam satu tali mereka semua bergantung. Kemudian yang paling bawah mengambil inisiatif untuk memotong tali yang terhubung dengan dirinya guna mengurangi berat yang mengancam nyawa seluruh orang diatasnya dan untuk menjaga keselamatan kawan-kawannya. Dalam kaidah fiqh, hukum tersebut terangkum dalam : درء المفاسد مقدم على جلب المصالح (Dar'u al-mafasid muqaddimu ala jalbil masholih - Menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan daripada sekedar mengambil kemaslahatan). <Qowaidul fiqh: 39>.
Batasan
mengenai dua hal tersebut {اَلضَّرَرُيُزَال
(Adh-Dhororu
Yuzalu)
-Kemadhorotan harus dihilangkan- seerta kaidah fiqh: اَلضَّرَرُلا
يُزَالُ باالضرر (Adh-Dhororu
La Yuzalu bi Adh-Dhorori)
-Kemadhorotan
itu tidak boleh dihilangkan dengan kemadhorotan yang sama
tingkatannya-} tersebut akan bisa dengan mudah digali dalam kisah
mengenai penawanan seorang sahabat Nabi yang bernama Abdullah bin
Hudzaifah as-Sahmi. Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas beliau berkata: ''Raja Romawi menawan sahabat Nabi
SAW, Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi. Lalu raja yang sombong itu
berkata kepadanya: ''Peluklah
agama Nasrani! Atau kamu akan kulemparkan ke dalam baqarah(2)''.
Abdullah
menjawab: ''Aku
tidak mau''. Maka
raja memerintahkan untuk dibawakan bejana besar yang diisi minyak
lalu dipanaskan. Kemudian dia mendatangkan salah seorang tawanan
muslimin lalu ditawari untuk masuk Nasrani dan menolaknya, lantas
dilemparkannya ke dalam bejana hingga tulang-tulangnya tampak.
Kemudian raja menawari Abdullah lagi: ''Masuklah
Nasrani!'' Kalau tidak kamu juga akan kulemparkan''. Abdullah
berkata: ''Aku
tidak mau''. Maka
raja memerintahkan untuk melemparkan Abdullah ke dalam baqarah,
maka Abdulloh menangis, dan orang-orang sekitarnya mengatakan:
''Sungguh
dia sedih dan menangis''. Kemudian
raja berkata: ''Kembalikanlah
dia''. Lalu
Abdullah berkata: ''Jangan
kira aku menangis karena sedih akan apa yang ingin kalian perbuat
pada diriku, akan tetapi aku menangis karena menyesal, kenapa aku
hanya punya satu jiwa yang akan kalian siksa karena Allah, sungguh
aku senang andaikata aku punya jiwa sebanyak semua rambut yang
terkumpul dalam diriku kemudian aku dikuasai dan diperlakukan seperti
ini''. Raja
berkata: ''Aku
heran dengan orang ini''. Kemudian
raja ingin membebaskannya dan berkata: ''Ciumlah
kepalaku dan aku akan bebaskan kamu'' Abdullah
menjawab: ''Tidak
mau''. Raja
berkata: ''Masuklah
Nasrani, maka aku akan kawinkan kamu dengan putriku dan aku akan
berbagi kerajaan denganmu''. Abdullah
menjawab: ''Tidak
mau''. Raja
berkata: ''Ciumlah
kepalaku maka aku akan membebaskan kamu bersama 80 tawanan
muslimin''. Abdullah
menjawab: ''Kalau
yang ini aku mau''. Barulah
pada tawaran terakhir yang berkenaan dengan
hifdz
an-nafs, Sahabat
Abdullah mau dengan tawaran tersebut. Kemudian Abdullah mencium
kepala si raja dan dia dibebaskan bersama 80 tawanan muslimin.
Tatkala mereka sampai kepada Sayyiduna Umar bin Khattab, beliau
berdiri dan mencium kepala Abdullah sebagai tanda kerelaan, dan para
sahabat Rasulullah SAW bergurau kepada Abdullah dengan berkata:
''Kamu
mencium kepalanya orang kafir''. Abdullah
menjawab: ''iya,
tapi dengan ciuman itu, Allah membebaskan 80 orang Muslim''.
<Usdul-Ghabah: 3/108> .
Lihat,
bahwasannya Sahabat Abdullah membuat sebuah ijtihad
yaitu
mencium kepala seorang raja yang kafir dengan pertimbangan hifdz
an-nafs yaitu
menyelamatkan nyawa 80 muslimin. Hal tersebut berarti akan ada sebuah
kemungkinan mashlahah
yang
lebih besar dibanding mudhorot
sekedar mencium
kepala raja tesebut. Perlu digarisbawahi, sahabat Abdullah tidak
melarikan diri sama sekali dari peperangan dan tidak membawa sebuah
keyakinan sebagai syarat berpindahnya agama dengan mencium kepala si
raja. Hukum ini bisa diikuti karena para sahabat Nabi adalah
orang-orang yang hidup bersama Nabi, serta paling mengerti dan paling
mempunyai pemahaman maksud dari sunnah-sunnah Nabi karena mendapatkan
pengajaran langsung dari Nabi.
Bagaimana
hukum mengenai larangan
menghancurkan pohon-pohon, membunuh anak kecil, orang tua, wanita dan
orang orang yang tidak terlibat peperangan dan pendeta agama lain
untuk mencapai percepatan tujuan perang?
Jika disandarkan
kepada kaidah ''Adh-Dhororu
yuzalu'' -Kemadhorotan
harus dihilangkan- maka hal tersebut bersifat lebih dilarang. Karena
yang dimaksud ''Adh-Dhororu''
-Darurat- disini adalah
sebab perang. Sedangkan tanpa adanya perang pun, Islam melarang
menghancurkan pohon-pohon, membunuh anak kecil, orang tua, wanita dan
orang-orang yang tidak terlibat peperangan dan pendeta agama lain.
Bahkan Muslim lainnya yang diluar wilayah dan mempunyai kemampuan
wajib membantu menyelamatkan mereka dari ''Adh-Dhororu''
(keadaan darurat) tersebut
atas nama agama dan kemanusiaan. Dalam dalam keadaan
''Adh-Dhoruroh'',
menyelamatkan
setiap nyawa tanpa
memandang muslim atau tidak itu
sesuai dengan Firman Allah
وَإِنْ
أَحَدٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ
فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلٰمَ
اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُۥ
ۚ ذٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا
يَعْلَمُونَ "...dan
jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan
kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman
Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian
itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui." <at-Taubah:
6>. Justru tindakan ini
jika dilakukan maka sesuai dengan ketentuan syari’at
serta tergolong dalam perbuatan mulia dalam kemaslahatan (maslahatul
mursalah). Imam
Sufyan Ats-Tsauri RA berkata: ''Kamu
menghadap Allah dengan membawa 70 dosa antara kamu dan Allah itu
lebih ringan daripada kamu menghadap Allah dengan membawa satu dosa
antara kamu dan manusia''. <Tanbihul-Mughtarrin: 22>.
Setiap
nyawa dalam Islam adalah berharga dan mempunyai hak-hak yang harus
diberikan. Rasulullah SAW pernah bersabda: ''Sesungguhnya
di dalam surga terdapat satu rumah yang disebut Rumah Kebahagiaan
(Darul Farah), tidak akan memasukinya kecuali orang yang menyenangkan
anak kecil'' <Lubabul-Hadits: 51>.
Rahmat
Allah pun juga sering turun terhadap orang-orang yang bukan muslim
karena berkumpulnya orang tersebut dengan orang-orang muslim. Hal
tersebut bisa kita lihat dari sebuah kisah orang-orang non muslim
yang berlindung di Masjid Raya Aceh pada saat terjadi Gelombang besar
Tsunami. Bahkan air tak secuilpun masuk masjid yang menjadi tempat
puluhan ribu orang dari muslim dan non muslim meskipun gelombangnya
sangat besar. Padahal sehari setelah kejadian itu, masyarakat yang
selamat bahu-membahu menguburkan sekitar 200 mayat yang tergeletak
dipekarangan masjid. Gelombang yang besar tersebut hanya merusak
pagar dan bangunan-bangunan disekitarnya selain masjid.
Dari
hukum ''Adh-Dhoruroh''
ini juga bisa ditarik
hak-hak yang bisa didapatkan oleh orang-orang yang berada dalam
keadaan dhorurot
dengan dihalalkannya
hal-hal yang diharamkan atas mereka sebab untuk menghilangkan keadaan
dhorurot
tersebut. Misalkan disaat
kelaparan mereka tidak menemukan makanan kecuali bangkai hewan.
Bangkai ini baginya halal. Di dalam kondisi yang sama karena kehausan
orang boleh minum-minuman keras sebab yang ada hanya minuman keras
itu saja. Dalam fiqh
hal tersebut terangkum
dalam kaidah : الضَّروْرَاتُ
تُبِيْحُ المَخْظُوْرَاتِ
(Kemadhorotan-kemadhorotan
itu membolehkan hal-hal yang dilarang). Atau dengan kata lain dalam
kaidah fiqh :
''Laa haroma ma'a
adh-dhorurot, wa laa karoohata ma'a al-hajah''
Tidak ada hukum haram
beserta dhorurot
dan hukum makruh
beserta kebutuhan.
<Qowaidul
Fiqh: 36>
Dasar-dasar yang melandasi hal
tersebut diantaranya: فَمَنِ
اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا
إِثْمَ عَلَيْهِ (Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya) <al-Baqarah:
173> Serta
: فَمَنِ
اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ
لإثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
(Maka
barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) <al-Maidah:
4>.
Namun dalam hal diatas juga
memunculkan sebuah kaidah fiqh : مَاأُبِيحَ
لِلضَّرُرَاتِ يُقَدَّرُ بِقَدَارِهَا
(Apa yang
dibolehkan karena adanya kemadhorotan diukur menurut kadar
kemadhorotan). Kaidah ini membatasi kemutlakan kaidah : الضَّروْرَاتُ
تُبِيْحُ المَخْظُوْرَاتِ
(Kemadhorotan-kemadhorotan
itu membolehkan hal-hal yang dilarang). Yang membolehkan seseorang
menempuh jalan yang semula haram itu adalah karena kondisi yang
memaksa. Manakala keadaanya sudah normal, maka hukum akan kembali
menurut statusnya. Oleh sebab itu terdapat sebuah batasan di dalam
mempergunakan kemudahan. Karena darurat itu semata-mata untuk
melepaskan diri dari bahaya maka apa yang diizinkan karena udzur,
maka hilang keizinan itu sebab hilangnya udzur.
Contoh :
- Boleh makan bangkai hanya sekedar pelepas kelaparan saja. Tidak boleh berlebihan atau terus menerus hingga lebih dari kenyang. Bila sudah mencukupi untuk menyangga hidup dan kondisi fisik sudah pulih kembali, batas kehalalan habis sampai disini.
- Boleh mengambil rerumputan tanpa izin pemiliknya untuk memberi makan ternak peliharaanya yang sedang kelaparan. Akan tetapi tidak boleh mengambil lagi untuk dijual kepada orang lain yang binatangnya kelaparan juga.
- Boleh seorang dokter (laki-laki) memeriksa dan atau mengobati pasien wanita pada bagian-bagian tubuhnya yang memang sakit, tidak boleh melebihi dari pada apa yang memang benar-benar diperlukan.
Sebagai penutup. Dalam
hak-hak secara sosial, maka tanggungan diantara muslim dan selain
muslim pun menjadi sama. Rasulullah SAW tidak mau mensholati jenazah
yang mempunyai hutang karena sholat itu do'a, sedangkan do'anya Nabi
itu mustajab. Dan beliau tidak ingin menyia-nyiakan haknya orang
lain, maka apabila ada orang yang mau menanggung hutangnya,
Rasulullah mensholatinya. <Ibanatul-Ahkam:
2/202>.
Hal-hal
apakah yang paling penting untuk dilakukan masyarakat sipil ketika
dalam keadaan dhorurot?
- Mengusahakan Perdamaian
- Mengutamakan Keselamatan
- Membantu meringankan kebutuhan manusia
1 Isi
dari Resolusi Jihah Fii Sabilillah :
Bismillahirrahmanirrahim
Resolusi
Resolusi
Rapat besar wakil-wakil daerah (Konsul-konsul) Perhimpunan Nahdlatul Ulama seluruh Jawa-Madura pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di Surabaya:Mendengar:
Bahwa di tiap-tiap daerah di seluruh Jawa-Madura ternyata betapa besarnya hasrat ummat Islam dan Alim ulama di tempatnya masing-masing untuk mempertahankan dan menegakkan AGAMA, KEDAULATAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA MERDEKA.Menimbang:
a. Bahwa untuk mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum AGAMA ISLAM, termasuk sebagai suatu kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam
b. Bahwa di Indonesia ini warga Negaranya adalah sebagian besar terdiri dari Ummat Islam.
Mengingat:
a. Bahwa oleh pihak Belanda (NICA) dan Jepang yang datang dan berada di sini telah banyak sekali dijalankan banyak kejahatan dan kekejaman yang mengganggu ketenteraman umum.
b. Bahwa semua yang dilakukan oleh semua mereka itu dengan maksud melanggar Kedaulatan Republik Indonesia dan Agama, dan ingin kembali menjajah di sini, maka di beberapa tempat telah terjadi pertempuran yang mengorbankan beberapa banyak jiwa manusia.
c. Bahwa pertempuran-pertempuran itu sebagian besar telah dilakukan ummat Islam yang merasa wajib menurut hukum agamanya untuk mempertahankan Kemerdekaan Negara dan Agamanya.
d. Bahwa di dalam menghadapi sekalian kejadian-kejadian itu belum mendapat perintah dan tuntutan yang nyata dari Pemerintah Republik Indonesia yang sesuai dengan kejadian-kejadian tersebut.Memutuskan:
1. Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan Agama dan Negara Indonesia, terutama terhadap fihak Belanda dan kaki tangan.
2. Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat “sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.
“Berperang
menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes
dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean,
anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak
lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi
orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban
itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian
sadja…”
2 Baqarah :
Bejana besar dari tembaga
Hastag tulisan mengenai Fiqh
al Siyar juga bisa ditemukan dalam : #70thICRCid. Sebuah kompetisi
Blogger yang di gagas oleh ICRC Indonesia dalam rangka miladnya yang
ke 70. barokallah buat seluruh peserta dan panitia. Semoga mashlahah
untuk bangsa dan negara.
#70thICRCid
0 komentar:
Posting Komentar