Ahlussunnah
wal jama’ah berpandangan bahwa seni hadrah sebagai sebuah karya seni
budaya Islam merupakan media ikatan emosional yang dapat
menumbuh-suburkan energi rasi penghormatan dan kecintaan “mahabbah”
kepada Nabi Muhammad SAW. Oleh karenanya, golongan Islam Ahlusunnah Wal
Jama’ah senantiasa berupaya untuk menyebarluaskan dan melestarikan
eksistensi seni hadrah agar tidak pernah berhenti di sepanjang jaman,
sehingga tidaklah mengherankan apabila keberadaan seni hadrah seringkali
diidentikkan sebagai bentuk seni budaya Islam Ahlusunnah Wal Jama’ah.
Di Indonesia keberadaan dan perkembangan seni hadrah dapat dengan mudah
diterima kehidupan masyarakat muslim Indonesia. Hal ini sangat wajar,
mengingat mayoritas umat Islam Indonesia adalah menganut ajaran (faham)
Ahlusunnah Wal Jama’ah.
Gairah tumbuhnya
perkumpulan-perkumpulan seni hadrah (jam’iyah seni hadrah) di tengah –
tengah lingkungan masyarakat desa maupun perkotaan, khususnya dikalangan
warga Nahdlatul Ulama (NU), merupakan fenomena dari adanya sebuah
kesadaran dan semangat (gairah) untuk menjaga dan memelihara kelestarian
keberadaan seni hadrah sebagai bentuk seni budaya Islam.
Dengan semakin berkembangnya perkumpulan-perkumpulan seni hadrah
(jam’iyah seni hadrah) yang lahir dan bermunculan dikalangan warga
Nahdlatul ‘Ulama (NU) di Indonesia, yang tumbuh dengan cepat dan
pesatnya, maka dipandang perlu untuk membentuk suatu misi dalam
mengembangkan dan melestarikan keberadaan seni hadrah di Indonesia.
Bertitik tolak dari ide dasar tersebut, maka untuk menghimpun
keberadaan seni hadrah dibentuklah sebuah wadah organisasi yang diberi
nama “Ikatan Seni Hadrah Indonesia” yang struktur organisasinya
ditempatkan di lembaga salah satu perangkat organisasi Nahdlatul ‘Ulama
(NU). Oleh karena itu, maka pada tanggal 15 Rajab 1378H atau bertepatan
dengan tanggal 23 Januari 1959, dibentuk dan didirikan Ikatan Seni
Hadrah Indonesia atau disingkat ISHARI di Pasuruan – Jawa Timur, yang
pembentukan/pendiriannya dimotori oleh KH. Wahab Chasbullah, KH.
Syaifuddin Zuhri, KH. Bisri Syamsuri, KH. Agus Muhammad bin Abdur
Rochim, KH. Achmad Saichu, dan KH. Idham Cholid. Dan para tokoh
Nahdlatul ‘Ulama (NU) tersebut berpandangan bahwa keberadaan Ikatan Seni
Hadrah Indonesia (ISHARI) mempunyai fungsi yang sangat strategis dan
diharapkan mampu menjadi benteng pertahanan atas pengaruh budaya asing
yang sistematik masuk ke tengah masyarakat melalui media elektronik.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan ISHARI di tanah air ini
telah mengalami pasang surut pengembangan adan aktifitasnya. Hal ini
terjadi karena tidak ada pengembangan kreatifitas dan inovasi
berkesenian dikalangan pada personil ISHARI itu sendiri, dan disisi lain
disebabkan posisi struktur organisasinya yang ada dalam tubuh Nahdlatul
‘Ulama (NU).
Sejalan dengan kehendak untuk menciptakan
keseimbangan antara gerak jama’ah dengan jam’iyah maka pada Muktamar NU
ke-29 pada tahun 1994 di Cipasung, telah berhasil merubah posisi ISHARI
menjadi Badan Otonom. Artinya keberadaan ISHARI yang awalnya hanya
ditempatkan sebagai salah satu wadah (departemen) dirubah menjadi
organisasi yang berdiri sendiri.
Dengan adanya perubahan status
dan fungsi ISHARI menjadi sebuah badan otonom tersebut, tentu akan
membawa konsekuensi logis bahwa jama’ah dan jam’iyah ISHARI dituntut
untuk melakukan perubahan pola kerja dan sistem berkreatifitas.
Disamping itu sangat diperlukan adanya peningkatan kualitas jama’ah dan
kualitas pengurusnya. Demikian pula diperlukan adanya program kerja yang
mengacu kepada pemantapan posisi ISHARI sebagai badan otonom dan
menyesuaikan dengan dinamika masyarakat.
Oleh dari kang Agus Zhad Mhy Cho., ISHARI KHUSUS Kedung Pring.,
0 komentar:
Posting Komentar